INFODANTA.com, Kabupaten Bekasi – Ujungan adalah salah satu seni pertunjukan rakyat Bekasi, yang di dalamnya berpadu pencak silat, musik, tari dan nilai-nilai luhur. Tradisi ini menjunjung tinggi sportifitas dan persaudaraan.
Kata “ujungan” berasal dari Bahasa Sunda, “Jung” yang berarti dari lutut ke bawah. Beberapa tokoh ujungan Bekasi mengatakan bahwa ujungan berasal dari kata “ujung” (bongkot, bahasa dialek Bekasi), baik ujung rotan maupun ujung kaki.
Bagi para Jawara, ujungan adalah pertaruhan harga diri dan perebutan status sosial. Para pemain ujungan akan saling beradu menggunakan tongkat yang dimainkan berdasarkan teknik pencak silat masing-masing.
Ukuran tongkat bervariasi, antara 40–125 cm. Umumnya di daerah Betawi dan sekitarnya menggunakan rotan berukuran 70 cm, dengan diameter sebesar lengan bayi.
Pertandingan akan dipimpin wasit yang disebut boboto. Sasarannya pinggang ke bawah, dengan fokus utamanya tulang kering dan mata kaki. Pemain tidak boleh memukul di area alat vital.
Pertunjukan ujungan biasanya diiringi dengan instrumen perkusi sampyong dan tok tok. Alat musik sampyong berbahan kayu, sejenis dengan gambang. Alat musik ini kemudian sering digantikan oleh gamelan.
Sampyong dimainkan bersamaan dengan masuknya pengibing pencak silat atau ‘uncul’ ke arena. Pengibing akan berjalan mencari penantang. Jika ada orang yang menerima tantangan, ujungan akan dimulai.
Adapun, tok tok berbahan baku bambu seperti kentongan. Alat ini berfungsi sebagai pengatur ritme musik dalam menggiring gerakan pemain ujungan. Di beberapa tempat, tok tok diganti alat musik kecrek.
Pemain yang paling sedikit mendapat pukulan akan dinyatakan menang. Pemenang akan menantang penonton. Begitu seterusnya, sampai petarung disebut jawara Ujungan karena tidak ada yang berani menantang.
Pertunjukan ini mungkin terkesan berbahaya, tapi dalam pertunjukan ujungan peserta tidak boleh menggunakan kemarahan dan kebencian. Tradisi ini sebenarnya sangat menjunjung tinggi persaudaraan.
Ujungan diperkirakan sudah berumur ribuan tahun. Budaya ini diperkirakan ada sejak abad ke-7 masehi (zaman Kerajaan Sunda) hingga masa kejayaannya pada abad 18 sampai awal abad ke 19. Jejaknya terekam dalam artefak dan gerabah yang ditemukan di sekitar situs Buni, Babelan.
Meski tidak sepopuler dulu, tradisi ujungan sekarang masih dapat ditemui di Desa Srijaya, Kampung Gabus, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi.
Kini, ujungan digagas menjadi seni tari ujungan oleh tokoh budaya Bekasi, Drahim Sada. Tujuannya agar ujungan bisa tetap dijaga dan dilestarikan oleh generasi muda Kabupaten Bekasi.
Tidak hanya di Bekasi, tradisi ujungan juga ada di berbagai daerah lain. Misalnya, di Jombang, Probolinggo, Majalengka, Banyumas, Cirebon, dan sejumlah daerah lain di Pulau Jawa. Ujungan biasanya dilakukan pada musim kemarau, sebagai bagian dari ritual meminta hujan.