INFODANTA.Com, Kabupaten Bekasi – Sebagian orang tua dulu di Bekasi sekitar tahun 60-an berprofesi sebagai kuli derep sawah. Pekerjaan ini sudah lumrah pada sebagian masyarakat sekitar Bekasi. Saat itu memang sumber mata pencarian hanya satu, yakni bertani, Menggarap sawah dan motong padi.
Derep sawah bisa diartikan, kuli memotong padi sawah milik orang kaya. Sedangkan orang yang menderep sawah biasa dipanggil bujang. Para bujang datang saat musim panen padi.
Mereka, biasanya membawa peralatan parang, arit, topi caping, kostum khas baju dan celana rombeng untuk menutupi tubuh dari sinar terik matahari, sekaligus buat menghindari dari binatang buas, seperti ular babi (cobra) yang dulu masih banyak di pematang sawah.
Faktor ekonomi dan masih langkanya sektor mata pencarian untuk penghidupan, membuat orang tua dulu rela berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan sampai sebulan lamanya meninggalkan rumah mederap sawah milik tuan tanah.
Kong Haji Ma’ruf, saksi sejarah sekaligus pernah jadi Bujang derep padi, Ia bercerita, bahwa saat itu bersama sang isteri rela meninggalkan enam anaknya di rumah selama berhari-hari pergi derep ke kampung lain.
Mulai dari Kampung Kaliabang Tengah, Jumalang, Tambun, Gabus, Tarumajaya, Wates, Pulo, Sukatani, Cikarang, Rawa Bugel dan di beberapa kampung sekitar Bekasi.
“Kondisi ekonomi memang susah pada saat itu. Sementara anak banyak, gimana caranya ngidupin anak buat makan sehari-hari. Yang penting bisa hidup dan makan,” kenang Kong Haji Ma’ruf saat berbincang di kediamannya, Bekasi Utara, beberapa waktu lalu.
Saat itu, kata Kong Haji Ma’ruf, wilayah Bekasi masih hamparan sawah. Sejauh mata memandang terlihat tanaman padi terbentang luas. Rumah penduduk masih jarang, perkampungan juga masih sulit dijangkau, butuh jalan kaki melewati galengan sawah.
“Biasanya kita derep motong padi berkelompok. Kalau bahasa sekarangnya kuli motong padi. Rumah jauh, padi yang kita potong juga berpetak-petak. Jadi kita biasanya nginap di rumah yang punya sawah,” tutur pria yang pernah jadi anggota relawan pejuang saat penjajahan Jepang semasa muda ini.
Mengingat saat susahnya mencari nafkah buat anak isteri saat itu, Kong Haji Ma’ruf, berlinang air mata. Jangankan untuk makan sehari-hari, saat lebaran anak-anaknya terpaksa tidak memakai pakaian baru.
“Duit zaman dulu di kampung itu kurang laku. Gimana mau laku. Saat itu yang orang pada punya gabah padi, mau dijual kemana. Tukang warung juga masih langka. Paling saling tukar hasil panen,” ujarnya.
Menderap padi saat itu menjadi sebuah pilihan. Para bujang, rela tidak pulang ke rumah dalam jangka lama. Bahkan, jika sudah dipercaya sama pemilik rumah, bujang tersebut diangkat menjadi keluarga, sudah seperti saudara.
“Kita disebutnya bujang oleh pemilik sawah. Nah, bujang ini yang biasanya motong padi, bawain gabah ke gudang. Nanti dikasih upah dari yang punya padi,” jelas Kong Haji Ma’ruf.
Seiring perkembangan zaman. Lahan sawah berubah menjadi perumahan, penduduk bertambah. Hanya derap langkah sepatu para pekerja perusahaan hilir mudik bekas lahan yang dulunya persawahan.
Profesi derap sawah sudah tidak lagi terdengar, orang tua dulu duduk sambil menyeruput kopi di depan teras rumah bersama anak dan cucunya bercerita, bahwa dulu rumah yang saat ini ditempati terbentang hamparan sawah, para bujang ramai-ramai datang dari pelosok kampung menderap sawah milik tuan tanah.