INFODANTA.Com, Kabupaten Bekasi – Trend terkait perceraian Public figur atau Selebritis, tidak hanya terjadi satu dua kasus saja, tapi banyak kasus perceraian telah terjadi. Tidak hanya di kalangan zet set saja, tapi hampir di tiap strata sosial. Alasan memilih untuk bercerai beragam, seperti, terpicu kasus KDRT, faktor sosial ekonomi, serta faktor pemicu lainnya.
Keputusan untuk bercerai antar pasangan suami isteri, tentunya akan berdampak psikologis pada sang anak. Terkait hal itu, Pakar Psikologi Keluarga, Profesor Dr. Nurul Hartini. SPsi,Mkes, Psikolog, memberi tanggapan, tindak perceraian biasanya terjadi, karena adanya ketidakmampuan menemukan titik temu, pada sebuah permasalahan pasangan.
“Seringkali sesuatu yang tidak dapat bersatu lagi, biasanya memang karena ada kehadiran orang ke_tiga. Hanya saja, sering kali memang karena munculnya perselisihan, yang tidak bisa saling damai”. Ujar, Nurul Hartini, Profesor asal Universitas Airlangga ini.
Keputusan untuk bercerai, biasanya tidak melalui proses pertimbangan yang matang. Bagi suami isteri tentunya berpisah menjadi pilihan yang dianggap tepat. Namun, bagi anak belum tentu tepat. Selain itu, belum tentu seseorang akan memperoleh pasangan yang lebih baik, dari pasangan hidup sebelumnya.
“Ketika kita bisa menghargai perbedaan dan mentoleransi kekurangan, kita harus nyakin bahwa pasangan kita saat ini, merupakan pemberian terbaik dari Allah, yang lain hanya fatamorgana saja”. Simpul, Guru Besar Fakultas Psikologi Unair tersebut.
Intinya, menurut Nurul Hartini, perceraian adalah hal yang paling tidak diinginkan, dalam sebuah bahtera rumah tangga. Apalagi bagi sang anak…!
Kondisi tersebut tentunya akan bergantung, pada bagaimana kemampuan anak untuk beradaptasi. Tentunya, perceraian merupakan perilaku kompleks, yang perlu ditelisik dari berbagai aspek.
“Buat anak yang tidak mampu beradaptasi dengan proses itu, tidak bisa menerima perceraian orang tuanya, pasti rasa marah, sedih, kecewa, akan terbawa terus. Pastinya akan berdampak pada perilaku”, papar, Nurul, lebih dalam.
Andaipun, telah bercerai, pola asuh anak harus menjadi tanggungjawab bersama. Walau komunikasi paska perceraian, dengan pasangan sudah tidak lagi intensip, tapi komunikasi dengan anak tetap harus intensip, dan terus terjaga dengan baik.
Jika orang tua tidak sanggup bertanggungjawab, akan sangat miris akibatnya, anak akan kehilangan identitas diri, terhambatnya potensi, hingga tingkat emosi yang tidak stabil.
Pada akhirnya, dr. Nurul Hartini, menekankan, hindari upaya tindak cerai. Andai itu tetap menjadi solusinya. Anak harus diajak bicara, jangan sampai anak tahu orang tuanya, akan bercerai dari orang lain.